Salah satu dari sekian kebahagiaan hidup sebagai orang tua bisa muncul dari buah hatinya. Seperti yang penulis rasakan kali ini, betapa bahagianya ketika seorang anak telah selesai masa studinya yang digeluti selama lebih dari 10 semester di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Uniuversitas Negeri Jember (UNEJ). Perjuangan yang tidak mudah untuk memperoleh salah satu kursi perguruan tinggi negeri. Selain kemampuan akademik dan strategi pilihan fakultas, yang tak dapat dipungkiri adalah faktor luck (kemurahan Allah) menjadi penentu bisa diterima di perguruan tinggi tujuan.
Bila kembali ke awal perjuangan memperoleh kursi di UNEJ, sungguh sulit dipercaya, Berawal dari masa pendaftaran mahasiswa baru yang makin mepet masa waktunya, dari browsing Icha (istri penulis) yang memang rajin cari info-info perguruan tinggi, ketemulah PT Unej yang masih ada waktu 2 hari untuk mendaftar. Saat itu hari Ahad sekitar jam 20.30 sedangkan pendaftaran terakhir ditutup hari Selasa. Maka tanpa membuang waktu, malam itu juga kami berangkat ke Jember dengan mobil yang belum tahu Jember itu sebelah mana. Perjalanan yang menempuh 12 jam lebih akhirnya sampai juga. Sampai di Jember tengah hari, ternyata para calon mahasiswa dari berbagai daerah telah memenuhi area yang telah disiapkan untuk menunggu selama proses pendaftaran.
Oleh karena tes masuk ujian mandiri dilaksanakan Selasa esok harinya, maka seusai melakukan pendaftaran kami sekeluarga harus menginap. Alhamdulillah di Jember banyak tempat menginap dengan tarif yang ekonomis, sehingga tidak diperlukan buget besar untuk penginapan ini.
Tibalah pagi hari Selasa, jadwal ujian dimulai jam 07.00 tepat dan selesai 3 jam berikutnya. Selama menunggu tes kami berada di masjid kampus sambil berdoa sebisanya semoga Alvin bisa mengerjakan soal dengan lancar, dan yang paling utama bisa diterima di Unej, mengingaqt inilah PTN terakhir yang diikuti tes ujian masuknya, setelah dari IAIN Walisongo melalui program santri berprestasi, Ujian Masuk Unes Semarang, dan SNMPTN di UGM UIN Suka semuanya belum membuahkan hasil.
Setelah selesai melakukan ujian tes masuk UNEJ, kami sekeluarga balik ke kampung halaman usai magrib dan menunggu pengumuman hari Kamis yang akan diumumkan secara online. Dengan berdebar menjelang shubuh hari Kamis kami membuka pengumuman dan hasilnya : Alhamdulillah diterima.
Awal yang Sulit
Pada awal-awal mulai kuliah, beberapa kendala mulai ditemui, tempat kos, dan peyesuaikan lingkungan yang sama sekali asing dan tak ada kenalan apalagi sanak saudara. Di tempat yang jauh di ujung timur-selatan pulau Jawa ini Alvin kami titipkan pada seorang penjual es dawet depan Kampus Unej yang baik hati menawarkan rumahnya sebagai tempat kos. Tanpa membuang kesempatan sedetikpun, mengingat hari sudah sore dan harus dapat tempat untuk menginap, kami berdua menengok tempat yang ditawarkan. Setelah beberapa saat berbincang, akhirnya pertimbangan jarak dari kampus yang dekatlah yang menjadi keputusan untuk menempati sebuah kamar di rumah bapak yang baik hati ini. Ternyata Alvin juga sepakat untuk bisa kos di tempat itu.
Di rumah saya membayangkan betapa bersyukurnya kami kepada Allah yang telah meluluhkan hati anak kami, Alvin yang mau tinggal di tempat itu. Betapa tidak, bila di rumah sarana MCK lumayan baik dan bersih, di tempat kos tersebut (maaf) masih tradisional, sedikit jorok dan harus menimba air saat mau mandi.
Tidak lama selang tiga bulanan Alvin berniat untuk pindah ke pondok pesantren. Niat ini tentu kami sambut gembira karena sejak awal memang kami berusaha supaya kuliah sambil mondok. Bayangan kami bila di kos, setelah kuliah tentu ada jeda waktu yang lama di kamar kos, tentu saja sangat menghawatirkan sebagai orang tua, mengingat kondisi menganggur tentu akan berdampak buruk bagi pergaulan.
Mencari Pondok Pesantren
Pada saat itu tahun 2009 alat komunikasi telepon seluler masih sangat sederhana. Alvin saat itu hanya kami bekali HP Fren hadiah jalan sehat pada event yang diselenggarakan oleh Yayasan Matholi'ul Huda Troso. Tentu saja alat komunikasi tersebut hanya cukup untuk digunakan menelpon dan sms saja. Oleh sebab itu ketika harus mencari alamat sebuah Pondok Pesantren di Jember tidak bisa menggunakan HP untuk browsing Google. Pencarian lokasi pondok akhirnya harus dipandu dari rumah dengan memanfaatkan jaringan internet di rumah dengan cpu seadanya. Alhasil ditemukanlah \pondok Pesantren "Al Jauhar" (kebetulan namanya mirip) yang paling dekat dengan lokasi kampus.
Setelah browsing berhasil, tibalah saatnya hunting lokasi. Dengan panduan dari rumah akhirnya ketemu juga karena untuk menemukan lokasinya, tidak sulit karena dekat dan banyak yang tahu karena pondok pesantren Al Jauhar sudah sangat familiar di lingkungan masyarakat sekitar kampus.
Ada kejadian lucu saat sudah di depan gerbang pesantren. Pasalnya Alvin tidak tahu harus berbuat apa. Untungnya sudah ada alat cangginh yang bisa membantu komunikasi jarak jauh. Dengan panduan hape jadul, kami pandu bagaimana caranya menemuai pengurus, menanyakan ketersediaan ruang untuk santri, dan persyaratan apa saja yang diperlukan untuk masuk jadi santri Ponpes Al Jauhar.
Seiring berjalannya waktu, dengan kepiundahan dari kos ke pesantren, Alvin jadi makin banyak teman pergaulan dan banyak persoalan kuliah satu persatu mulai terpecahkan. Tak butuh waktu lama, dasar Alvin yang pandai bergaul dan mudah beradaptasi, lebih-lebih pengasuh pesantren Prof.DR.KH.Sahilun Nasir yang berasal dari tetangga kabupaten, jadilah Alvin sebagai "dianggap" anak kandung sendiri. Sehingga hari-harinya hampir sepertiga waktunya diluangkan di "ndalem" Pak Yai.
Suka-duka di Pondok Pesantren Al Jauhar dilaluinya tanpa terasa adanya hambatan, bahkan keberuntunganlah yang selalu didapatkan. Beruntung bukan dinilai dari materi, karena anak mondok muskil dapat materi, akan tetapi kepuasan jiwa dan akal budilah yang selalu terisi dari Kyai, teman sekamar, kawan lingkungan pondok dan masih banyak lagi keberuntungan dari sisi jiwa batiniah.
Sopir
Suatu kali kami dikejutkan oleh sms yang masuk -sudah menjadi kebiasaan komunikasi kami sering melalui sms- pada malam hari dia memberi kabar bahwa sedang dalam perjalanan menuju Situbondo. Saya tanya ada acara apa, "Sedang ngantar Abah (panggilan Pak Kyai oleh santrinya) ke Situbondo". "Ngantar gimana? Pake apa?" tanyaku beruntun di sms. "Diminta Abah nyopir mobil".
Setengah tidak percaya mendapat kabar itu karena selama di rumah, sebelum kuliah tak pernah pegang mobil, karena memang tidak punya. Tiba-tiba semberono nyopir Abah lagi. Kekagetan itu saya luapkan berupa sms pesan macam-macam: hati-hati, kalau capek istirahat, dan pesan lain-lain.
Setelah kejadian nyopir tersebut, beberapa kali bahkan sering kemudian seolah menjadi sopir pribadi yang setiap saat mengantar kemana pun Abah atau Bu Nyai bepergian.
Setelah browsing berhasil, tibalah saatnya hunting lokasi. Dengan panduan dari rumah akhirnya ketemu juga karena untuk menemukan lokasinya, tidak sulit karena dekat dan banyak yang tahu karena pondok pesantren Al Jauhar sudah sangat familiar di lingkungan masyarakat sekitar kampus.
Ada kejadian lucu saat sudah di depan gerbang pesantren. Pasalnya Alvin tidak tahu harus berbuat apa. Untungnya sudah ada alat cangginh yang bisa membantu komunikasi jarak jauh. Dengan panduan hape jadul, kami pandu bagaimana caranya menemuai pengurus, menanyakan ketersediaan ruang untuk santri, dan persyaratan apa saja yang diperlukan untuk masuk jadi santri Ponpes Al Jauhar.
Seiring berjalannya waktu, dengan kepiundahan dari kos ke pesantren, Alvin jadi makin banyak teman pergaulan dan banyak persoalan kuliah satu persatu mulai terpecahkan. Tak butuh waktu lama, dasar Alvin yang pandai bergaul dan mudah beradaptasi, lebih-lebih pengasuh pesantren Prof.DR.KH.Sahilun Nasir yang berasal dari tetangga kabupaten, jadilah Alvin sebagai "dianggap" anak kandung sendiri. Sehingga hari-harinya hampir sepertiga waktunya diluangkan di "ndalem" Pak Yai.
Suka-duka di Pondok Pesantren Al Jauhar dilaluinya tanpa terasa adanya hambatan, bahkan keberuntunganlah yang selalu didapatkan. Beruntung bukan dinilai dari materi, karena anak mondok muskil dapat materi, akan tetapi kepuasan jiwa dan akal budilah yang selalu terisi dari Kyai, teman sekamar, kawan lingkungan pondok dan masih banyak lagi keberuntungan dari sisi jiwa batiniah.
Sopir
Suatu kali kami dikejutkan oleh sms yang masuk -sudah menjadi kebiasaan komunikasi kami sering melalui sms- pada malam hari dia memberi kabar bahwa sedang dalam perjalanan menuju Situbondo. Saya tanya ada acara apa, "Sedang ngantar Abah (panggilan Pak Kyai oleh santrinya) ke Situbondo". "Ngantar gimana? Pake apa?" tanyaku beruntun di sms. "Diminta Abah nyopir mobil".
Setengah tidak percaya mendapat kabar itu karena selama di rumah, sebelum kuliah tak pernah pegang mobil, karena memang tidak punya. Tiba-tiba semberono nyopir Abah lagi. Kekagetan itu saya luapkan berupa sms pesan macam-macam: hati-hati, kalau capek istirahat, dan pesan lain-lain.
Setelah kejadian nyopir tersebut, beberapa kali bahkan sering kemudian seolah menjadi sopir pribadi yang setiap saat mengantar kemana pun Abah atau Bu Nyai bepergian.
![]() |
data diri mahasiswa |
![]() |
progres report akademik |
![]() |
progres report akademik |
0 Komentar